iklan responsive
Secara syar’i: isbal atau menjulurkan pakaian
sarung, celana atau gamis dibawah mata kaki merupakan perkara yang tercela dan
terlarang baik bagi kaum laki-laki. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam telah mencelanya dalam dua hal:
Pertama: Berpakaian isbal secara sombong dan angkuh.
Hal ini sangat terlarang bahkan pelakunya telah diancam oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya:
من جر ثوبه مخيلة لم ينظر الله إليه يوم القيامة
Artinya: “Barangsiapa yang menyeret pakaiannya
secara sombong dan angkuh, maka Allah ta’ala tidak akan memandangnya (dengan
pandangan rahmat) pada hari kiamat kelak”. (HR Bukhari: 5791).
Dalam Shahih Muslim (2085):
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ لَا يُرِيدُ بِذَلِكَ إِلَّا الْمَخِيلَةَ
: فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Barangsiapa yang menyeret sarungnya hanya
dengan tujuan menyombongkan diri maka Allah tidak akan memandangnya (dengan
pandangan rahmat) pada hari kiamat kelak”.
Hal ini senada dengan balasan terhadap orang yang
sombong dan angkuh, sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang ada
dalam hatinya ada sebiji dzarrah kesombongan”. (HR Muslim: 147).
Kedua: Berpakaian isbal tanpa disertai sikap
sombong. Hal ini lebih ringan dosanya dibandingkan dengan isbal disertai sikap
sombong. Dalam hadis:
ما أسفل الكعبين من الإزار ففي النار
Artinya: “Pakaian yang dijulurkan dibawah mata kaki
berupa sarung (atau sejenisnya), maka (pelakunya) berada dineraka”. (HR
Bukhari: 5787).
Makna hadis ini adalah bahwa yang menjulurkan
pakaiannya dibawah mata kaki baik dilakukan dengan sombong atau tidak,
pelakunya tetap mendapatkan ancaman dalam hadis ini. Artinya, hadis ini
menunjukkan keumuman larangan isbal baik dengan disertai kesombongan atau
tidak. Sehingga bila ada yang mengatakan bahwa ia melakukan isbal tanpa
disertai kesombongan, maka dijelaskan padanya bahwa anda tetap melakukan
perkara haram karena isbal dengan tidak sombong tetap dilarang walaupun dosanya
lebih ringan.
Akan tetapi banyak ulama menyatakan bahwa isbal ini
tidaklah haram bila tidak disertai dengan kesombongan, karena hadis-hadis yang
mengharamkan isbal secara mutlak –tanpa mengkhususkannya dengan sikap sombong-
adalah umum, dan kemudian di taqyid atau dikhususkan dengan hadis-hadis yang mengkaitkannya
dengan sikap sombong, sehingga hadis-hadis larangan isbal secara umum bermaksud
bila hal itu dilakukan secara sombong, adapun bila tidak disertai kesombongan
maka hukumnya tidak haram dan bukan merupakan makna tekstual hadis tersebut.
Apalagi telah ada hadis yang jelas-jelas menunjukkan hal ini: “Barangsiapa yang
menyeret sarungnya hanya dengan tujuan menyombongkan diri maka Allah tidak akan
memandangnya (dengan pandangan rahmat) pada hari kiamat kelak”. (HR Muslim:
2085).
Diantara ulama yang berpendapat seperti ini ada yang
menyatakan bahwa hukum isbal bagi laki-laki adalah mubah, dan ada yang
menyatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Namun tentunya terlepas haram tidaknya
isbal ini, sebagai seorang muslim yang ingin beribadah secara sempurna kepada
Allah, hendaknya senantiasa mengambil langkah hati-hati dalam ibadah dan amalan
hariannya, agar semua amalannya senantiasa bernilai ibadah dan terjauhkan dari
dosa dan pelanggaran. Dan memakai pakaian secara tidak isbal merupakan salah
satu bentuk kehati-hatian tersebut.
Inilah hukum ringkas terkait isbal pada pihak
laki-laki. Lalu apa hukumnya bila hal ini dilakukan kaum wanita ?
Dalam hadis Ummi Salamah radhiyallahu’anha,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ
؟. قَالَ: يُرْخِينَ شِبْرًا. فَقَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ ؟! قَالَ:
فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ.
Artinya: “Barang siapa menyeret pakaiannya dengan
sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Kemudian Ummu Salamah
bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau
menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengkal” Ummu Salamah berkata lagi:
“Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap ?!” Beliau menjawab:
“Hendaklah mereka menjulurkannya sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.”
(HR. Tirmidzi: 1731, hasan shahih)
Bila kaum laki-laki dilarang menjulurkan pakaian
melebihi mata kaki, maka kaum wanita diberikan keringanan agar aurat mereka
yang ada dibagian kaki dan betis tidak tersingkap dengan dibolehkan bahkan
diwajibkan menjulurkan pakaiannya hingga menutupi kaki mereka. Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah mengomentari hadis ini: “Ummu Salamah menanyakan hukum isbal
tersebut untuk wanita karena mereka sangat perlu untuk isbal demi menutup aurat
mereka sebab semua bagian kaki wanita adalah aurat, sehingga Nabipun
menjelaskan padanya bahwa hukum isbal bagi mereka tidak sama dengan hukum isbal
bagi laki-laki… dan Qadhi Iyadh telah menukil ijma’ ulama bahwa larangan isbal
ini hanyalah khusus bagi laki-laki dan tidak termasuk kaum wanita”. (Fath
Al-Bari: 10/259).
Dalam hadis diatas menunjukkan bahwa wanita wajib
menutup kedua kakinya, dan menunjukkan dua cara dalam menutup kaki tersebut:
Pertama: Bahwa wanita menjulurkan pakaiannya seukuran
satu jengkal dari tengah betisnya. Ini merupakan batas minimal ujung pakaian
wanita, artinya ia tidak boleh menjulurkan kurang dari satu jengkal dari tengah
betisnya. Karena secara umum, bila anda mengukur satu jengkal dari tengah betis
ke bawah maka akan pas dengan telapak kaki sehingga ukuran satu jengkal pakaian
dari tengah betis kebawah; ini sudah menutupi semua kaki, dan bila kurang dari
ukuran ini maka akan ada bagian kaki yang akan tersingkap dan tidak tertutupi1.
Hal ini juga ada dalam hadis Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma:
رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِأُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ فِي الذَّيْلِ شِبْرًا، ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ
شِبْرًا ، فَكُنَّ يُرْسِلْنَ إِلَيْنَا فَنَذْرَعُ لَهُنَّ ذِرَاعًا
Artinya: “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
membolehkan ummahatul-mukminin pada ujung pakaian mereka untuk diperpanjang
satu jengkal. Lalu mereka meminta panjangnya ditambah, maka beliau membolehkan
mereka menambah satu jengkal lagi, sehingga dahulu mereka menyuruh utusan
kekami (untuk mengukur pakaian mereka), sehingga kamipun mengukur dengan
memperpanjang bagi mereka satu hasta (dua jengkal dari tengah betis)”. (HR Abu
Daud: 4119, shahih).
Kedua: Bahwa wanita menurunkan pakaiannya seukuran
satu hasta atau dua jengkal dari tengah betisnya kebawah kakinya. Ini merupakan
batas maksimal dari ukuran ujung pakaian wanita, sebab ketika
ummahatul-mukminin meminta agar dibolehkan untuk memperpanjang ujung pakaian
mereka dari satu jengkal maka beliau hanya membolehkannya dengan menambah satu
jengkal lagi sehingga semuanya berjumlah dua jengkal (satu hasta), dan beliau
melarang bila panjangnya lebih dari itu, sebagaimana dalam hadis diatas:
“Hendaklah mereka menjulurkannya sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.”
Nah, disinilah letak isbal kaum wanita yaitu; bila
mereka melebihkan ujung pakaian mereka lebih dari satu hasta dari tengah betis,
maka ia telah melakukan isbal karena tidak mengindahkan larangan Nabi
shallallahu’alaihi wasallam diatas: “Hendaklah mereka menjulurkannya sehasta,
mereka tidak boleh melebihkannya.” Bahkan ini merupakan salah satu bentuk israf
dan pemborosan dalam berpakaian, apalagi bila disertai dengan sikap memamerkan
kecantikan diri dan penampilan atau dengan tujuan sombong atau riya’ ingin
dipuji oleh orang lain. Tentunya ini tidak ada dalam jenis pakaian wanita
muslimah shalihah insyaa Allah, namun banyak didapatkan dalam pakaian-pakaian
pesta atau pakaian pengantin, Wallaahul-Musta’an2. Wallaahu a’lam.
Sumber dari: wahdah.or.id
ikalan saiz 250

iklan adnow
0 Response to "Inilah Ancaman Allah Kepada Wanita Yang Gemar Menyeret Pakaian Di Hari Kiamat"
Post a Comment